HarianPublik.id,Jakarta – Kasus guru honorer Supriyani yang menjadi tersangka usai dituduh menganiaya siswa anak polisi di Konawe Selatan (Konsel), Sulawesi Tenggara (Sultra) kini menjadi sorotan publik yang tengah ramai menjadi perbincangan hangat.
Supriyani mendapat banyak perhatian setelah kisahnya viral di media sosial. Pengajar di SDN 4 Baito itu dituduh melakukan pemukulan terhadap siswa kelas 1 berinisial MC yang merupakan anak personel kepolisian di Polsek Baito.
Meski begitu, Supriyani yang sempat ditahan tersebut bersikeras tidak pernah melakukan pemukulan terhadap MC, ditambah adanya kesaksian yang mendukung Supriyani tidak bersalah. Pihak LBH Himpunan Advokat Muda Indonesia (HAMI) sebagai kuasa hukum Supriyani pun menyebut ada banyak kejanggalan dalam kasus ini.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI MY Esti Wijayati juga menyoroti kasus tersebut. Menurutnya, kasus Suryani menjadi contoh betapa rentannya posisi profesi guru saat ini, terutama guru honorer.
“Guru honorer seperti Ibu Supriyani sering kali berada dalam posisi yang rentan, di mana mereka tidak hanya harus memenuhi tanggung jawab mengajar, tetapi juga berhadapan dengan risiko hukum dalam proses mereka melakukan pembinaan pada murid,” kata MY Esti Wijayati, dalam keterangan tertulis seperti dikutip dari laman DPR RI, pada Jumat (25/10/2024).
Esti menilai sistem pendidikan yang seharusnya melindungi guru dan memberi mereka dukungan dalam menjalankan tugas, justru malah menjadi ancaman tersendiri bagi para guru. “Kasus guru Supriyani ini menjadi contoh betapa rentannya profesi guru di era saat ini, khususnya bagi para guru honorer yang perjuangannya dalam menjalankan tugas sangat besar,” tutur Politisi PDI-Perjuangan ini.
Salah satu hal yang menjadi sorotan pada kasus ini adalah karena awalnya siswa MC kepada ibunya mengaku luka di pahanya ia dapat karena jatuh di sawah. Namun setelah didesak oleh ayahnya, anak tersebut mengubah pengakuan dan menyatakan ia dianiaya oleh Supriyani.
“Yang paling mencolok dalam kasus Ibu Supriyani adalah terkait intervensi dan reaksi orang tua siswa yang menurut saya berlebihan. Terutama ketika salah satu pihak memiliki kekuasaan atau pengaruh, tentunya ini membebani guru,” ujar Esti.
“Fenomena seperti ini tidak jarang terjadi dalam sistem pendidikan kita. Padahal reaksi atau intervensi yang terlalu berlebihan dan tidak proporsional justru dapat merusak proses pendidikan,” sambung Legislator dari Dapil DI Yogyakarta itu.
Esti mengingatkan, profesi guru dilindungi yang salah satunya tertuang dalam Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 10 Tahun 2017 Tentang Perlindungan Bagi Pendidik dan Tenaga Kependidikan.
Perlindungan ini mencakup perlindungan dari kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi, dan perlakuan tidak adil. Aturan tersebut juga mengatur perlindungan guru dari pihak peserta didik, orang tua peserta didik, masyarakat, birokrasi, dan pihak lain yang terkait dengan tugas pendidik dan tenaga kependidikan.
“Profesi guru jelas memiliki perlindungan saat dirinya melakukan proses belajar mengajar. Namun kasus Supriyani menunjukkan intervensi orang tua serta intimidasi yang dapat mengancam keamanan guru dalam menjalankan perannya,” papar Esti.
Untuk itu, Esti mendorong pemerintah dan satuan pendidikan untuk ikut memberikan pendampingan sesuai amanat Peraturan Kemendikbud 10/2017 pasal 2 hingga 4, khususnya Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah serta Pemerintah Daerah.
“Pemerintah wajib memberikan bantuan hukum untuk guru yang bermasalah dengan hukum. Ini Ibu Supriyani malah cari bantuan hukum sendiri,” tegasnya.
“Pemberian janji peningkatan status sebagai guru PPPK saja tidak cukup karena Ibu Supriyani terjerat kasus hukum saat sedang melaksanakan tugas. Beliau yang telah mendedikasikan hidupnya bagi pendidikan anak bangsa berhak mendapat perlindungan dari Pemerintah,” lanjut Esti.
Dia menambahkan, bantuan hukum dari Pemerintah semakin diperlukan mengingat adanya dugaan intimidasi dan pemerasan terhadap Supriyani. “Kita sepakat penganiayaan pada anak tidak dapat dibenarkan, tapi pendampingan hukum yang maksimal dapat membantu membuka fakta yang sebenarnya terjadi dalam kasus ini,” ungkapnya.
Baik pihak kuasa hukum maupun Supriyani sendiri menyatakan pada saat hari kejadian yang dituduhkan, Supriyani berada di kelas berbeda dengan anak pelapor sebab Supriyani bukan merupakan wali kelas siswa MC.
Selain itu, Supriyani yang telah mengabdi sebagai guru honorer selama 16 tahun tersebut dituduh menganiaya pada pukul 10.00 Wita. Menurut pihak LBH, waktu kejadian tidak dapat dibenarkan mengingat di jam tersebut seluruh siswa sudah pulang.
Dalam dakwaan pihak kejaksaan pun anak pelapor disebut dipukul satu kali dengan sapu. Sementara berdasarkan kesaksian guru lain yang melihat langsung kondisi siswa MC, luka anak pelapor itu terlihat seperti luka melepuh, bukan seperti bekas luka pukulan.
Supriyani juga mengaku diminta untuk mengakui tuduhan penganiayaan terkait penetapannya sebagai tersangka saat penyidikan di kepolisian. Ia menyatakan tak pernah mengaku menganiaya korban dan permintaan maaf yang disampaikannya dilakukan agar masalah cepat berlalu.
Permintaan maaf Supriyani disalahartikan oleh pihak pelapor yang menganggap Supriyani mengakui melakukan pemukulan kepada sanh anak. Sebelum penyidikan, proses mediasi telah dilakukan beberapa kali, namun pihak pelapor tak mau berdamai sehingga proses hukum terus berlanjut.
Sementara soal dugaan pemerasan, hal ini terkait dengan adanya permintaan dari pihak pelapor kepada Suryani untuk membayar denda sebesar Rp 50 juta jika ingin berdamai. Karena pihak sekolah hanya menyanggupi untuk membayar Rp 10 juta, pihak pelapor disebut tak mau berdamai karena tuntutan denda yang dimintanya tidak dapat dipenuhi.
“Kalau hal tersebut benar terjadi, ini menjadi preseden yang buruk dalam sistem pendidikan kita. Dan kami meminta Pemerintah hadir untuk memberi bantuan dan perlindungan bagi Ibu Supriyani. Kita juga berharap pengadilan dapat memberikan keadilan yang sesungguhnya bagi semua pihak,” urai Esti.
Saat ini, Supriyani telah berstatus sebagai terdakwa dan kasusnya sudah mulai disidangkan di Pengadilan Negeri (PN) Andoolo, Konawe Selatan, Sultra. Namun penahanan Supriyani ditangguhkan oleh hakim dengan pertimbangan terdakwa memiliki anak yang masih berusia balita.
Terlepas dari kasus Supriyani, Anggota dewan yang juga bertugas di Badan Anggaran (Banggar) DPR RI itu menekankan bahwa guru merupakan elemen kunci dalam sistem pendidikan. Esti mengatakan hal ini lantaran guru tak hanya bertugas mengajar, tetapi juga membimbing dan membentuk karakter siswa melalui pengajaran nilai-nilai disiplin, tanggung jawab, dan etika.
“Beban guru hari ini sangat berat dan banyak tantangan. Karena yang terjadi sekarang itu guru kurang punya power untuk memberikan pembinaan ke siswa dalam bentuk disiplin karena fenomena reaksi orang tua yang sedikit-sedikit membawa masalah ke ranah hukum,” ucap Esti.
Karena takut dikriminalisasi, akhirnya guru menjadi kurang memberikan pendidikan disiplin kepada anak yang melakukan pelanggaran. Esti menyebut, hal tersebut menjadi salah satu faktor kurangnya pendidikan karakter bagi anak.
“Termasuk kemudian banyak terjadi kasus kekerasan anak dan bullying di sekolah itu karena kurangnya pembinaan disiplin dari guru. Anak-anak pun jadi kurang menaruh rasa hormat atau keseganan pada guru mereka. Beda seperti zaman kita dulu,” sebutnya.
Esti memahami bahwa memang benar ada terjadi berbagai kasus kekerasan guru kepada anak muridnya. Namun ia menyebut tidak semua tindakan disiplin yang diterapkan guru merupakan bentuk kekerasan sehingga tak bisa disamaratakan.
“Kalau memang guru melakukan kekerasan ya memang harus dan wajib diproses hukum dan mendapat sanksi. Tapi saya mengajak semua masyarakat, khususnya wali murid, untuk mendukung proses pembinaan karakter yang dilakukan guru di sekolah demi perkembangan karakter anak-anak kita,” terang Esti.
Pimpinan komisi di DPR yang membidangi sektor pendidikan itu mengatakan seharusnya sistem pendidikan nasional Indonesia dapat memastikan bahwa guru, orang tua, dan siswa dapat bekerja sama. Esti menyebut, kerja sama antar pihak ini demi mencapai tujuan pendidikan yang lebih baik.
“Guru harus diberikan ruang untuk mendisiplinkan dan membimbing siswa, sementara siswa tetap mendapatkan perlindungan yang layak,” tukasnya.
Esti mengatakan jika setiap tindakan pendisiplinan yang diterapkan guru selalu menjadi sorotan dan dipertanyakan maka akan berdampak pada perkembangan moral generasi muda atau anak-anak Indonesia. Siswa menjadi tidak ada rasa tanggung jawab karena merasa orang tua akan selalu membela meskipun anak melakukan kesalahan.
“Kalau orang tua melakukan intervensi terus, guru bisa merasa terancam dalam menjalankan tugasnya. Ini mengakibatkan kurangnya penerapan disiplin di kelas, yang pada akhirnya berdampak pada perkembangan moral dan tanggung jawab siswa itu sendiri,” jelas Esti.
Esti pun mendorong pemerintah untuk membuat sistem pendidikan yang seimbang antara hak guru untuk mendisiplinkan siswa dan hak orang tua untuk melindungi anak-anak mereka. Perlindungan bagi siswa juga disebut harus dikelola dengan bijak melalui regulasi dan kebijakan pendidikan yang komprehensif.
“Idealnya dalam mendidik anak-anak harus ada kolaborasi yang baik antara semua pihak, sekolah dalam hal ini guru, orang tua maupun lingkungan sekitar agar membentuk karakter anak yang baik. Karena masa depan Indonesia ada di anak-anak generasi penerus bangsa ini,” ucapnya.
Di sisi lain, dia juga menekankan pentingnya pemerintah meningkatkan kesejahteraan guru, khususnya bagi para guru honorer. Hal ini mengingat beban kerja, tanggung jawab serta risiko yang dihadapi guru sangat besar.
“Sudahlah tugas dan bebannya berat, kesejahteraan guru itu masih kurang. Ini yang masih PR kita dan akan terus kami perjuangkan di DPR demi memastikan agar semua guru di Indonesia yang memiliki tugas mulia mendidik anak bangsa mendapatkan kesejahteraan dan kehidupan yang layak,” tutup Esti.
Untuk diketahui, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) menyatakan akan mengangkat Supriyani menjadi guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) melalui jalur afirmasi. Jaminan ini diberikan Kemendikdasmen usai kasus Supriyani mendapat sorotan publik. (**)
Komentar