Partisipasi Perempuan Dalam Demokrasi

Oleh: Dewi Kalsum, SE

Harianpublik.id – PEREMPUAN Indonesia tidak lagi terkurung dalam kegelapan intektual, perempuan yang dulunya diperkenankan sekolah hanya diperbolehkan membersihkan rumah, memasak, menjahit dan mengurus anak, kini dapat mencicipi akses pendidikan. Tugas dan tanggung jawab seorang perempuan bukanlah sekedar menjadi pelengkap isi rumah tangga. Namun harus bisa membicarakan arah kemajuan bangsanya.

Berbicara tentang politik tidak hanya dilakukan oleh kalangan politisi, pemerintahan atau para birokrat saja namun semua lapisan masyarakat. Di setiap tongkrongan kopi kita bisa mendengar para warga sedang memperbincangkan politik memperdebatkan paslon mana yang terbaik atau mengkritisi kebijakan pemerintah.

Berbicara tentang perempuan, tidak sedikit hasil kajian yang menyebutkan bahwa perempuan dan anak masih tergolong kelompok rentan yang sering mengalami berbagai masalah, seperti kemiskinan, bencana alam, konflik, kekerasan dan sebagainya. Hal itu tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga negara-negara lain di seluruh dunia.

Dengan demikian mengenai perempuan dalam bingkai demokrasi adalah sesuatu yang menarik di tengah iklim demokrasi  dan partiarkal. Kemampuan untuk meyuarakan pendapat serta cara pandang demokrasi ala perempuan adalah sesuatu yang harus dimiliki para perempuan masa kini. Dalam negara demokrasi pengakuan perempuan atas dasar prinsip persamaan derajat, dalam semua wilayah dan tataran kehidupan public menjadi penting, terutama dalam posisi-posisi pengambilan keputusan. Peran serta perempuan dalam segala aktifitas dan pengambilan kuputusan adalah bentuk emansipasi dan demokrasi nyata, sebagai bentuk yang digunakan untuk menjelaskan sejumlah usaha perempuan untuk mendapatkan hak politik, kesetaraan dan persamaan derajat.

Dalam konteks kenegaraan Indonesia, sebagaimana dalam UUD 1945 bahwasanya Indonesia adalah negara hukum sehingga setiap aturan atau gagasan yang sifatnya kenegaraan maka harus ada payung hukumnya atau legalitas, tidak terkecuali kesetaraan laki-laki dan perempuan.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur kesetaraan laki-laki dan perempuan, meliputi:

1. UUD 1945 Pasal 27-34.
2. Ketentuan MPR Nomor  II/MPR/1988 dan TAP MPR Nomor II/MPR/1993
3. Undang-Undang (UU No1 Tahun 1974 tentang perkawinan)
4. Peraturan Pemerintah (PP No 9 tahun 1975 dan PP No.10 tahun 1990)

Sejak era reformasi, partisipasi politik kaum perempuan dalam  proses pengambilan kebijakan merupakan bagian yang penting bagi pemerintah dan lembaga legislatif. Dalam sistem demokrasi yang inklusif masyarakat mempunyai peran  yang sangat penting untuk dapat terwujudnya  partisipasi politik dari kaum perempuan agar lebih luas dan lebih merata.

Pun di era emansipasi seperti sekarang, perempuan acapkali  dianggap sebagai kelompok kelas kedua (subordinat) sehinggah mereka tidak memperoleh persamaan hak dengan laki-laki. Perempuan dinilai hanyak becus dalam melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan urus rumah tangga. Namun dengan berjalannya waktu perempuan juga bisa menjadi aktor strategi dalam pembangunan. Tidak hanya pembangunan di desa-desa, tetapi juga pembangunan secara nasional dapat mengubah kehidupan masyarakat Indonesia menjadi lebih baik dan sejahtera.

Menurut Inna Junaenah, telah banyak kajian dan pengaturan mengenai relasi perempuan dengan mengambil keputusan dalam suatu penyelenggara pemerintahan. Hal ini didorong pula secara Internasional pada tahun 1995 dalam Konferensi Perempuan se-Dunia keempat di Beijing yang menghasilkan rekomendasi dengan menyebutkan Beijing Platform for Action. Deklarasi ini telah mendorong rencana aksi di berbagai negara, termasuk di Indonesia, di antaranya untuk menargetkan pencapaian keterwakilan perempuan di Parlemen 33,3 persen. Pencanangan yang demikian merupakan strategi agar perempuan dapat turut serta  dalam pengambilan keputusan. Karenanya, posisi perempuan di parlemen  diyakini berpengaruh secara langsung untuk mempengaruhi hukum yang dibentuk (Junaennah,2014:221)

Dengan demikian, untuk meningkatkan tingkat partisipasi politik perempuan perlu adanya dukungan dari semua pihak. Keterlibatan pemerintah, partai politik serta  perempuan itu sendiri secara selaras akan mampu menigkatkan tingkat partisipasi politik perempuan yang sama rendah.

Dalam sejarah  perjuangan kaum perempuan di Indonesia cenderung terpinggirkan. Padahal menurut Wulan Sondarika (2017) sejak awal abad ke -19, beberapa wanita Indonesia telah tampil dalam membela tanah air dan bangsanya. Sebut saja Nyi  Ageng Serang X1, Christina Marta Tiahahu, Cut Nyak Dien, R.A.Kartini, Maria Walanda Maramis, Nyai Walidah Ahmad Dahlan dan lainnya. Menurut saya, hal ini wajar karena masyarakat kita dideterminasi budaya patriarkis. Sehingga peran kaum perempuan yang luar biasa  kadang tidak terekspos publik, termasuk partisipasinya dalam politik.

Tokoh perempuan di atas dapat memberikan angin  segar  bagi semua perempuan Indonesia saat ini. Menumbuhkan semangat dan motivasi untuk berperan aktif dalam bidang politik. Begitu  juga dalam bidang ekonomi dan sosial masyarakat lainnya. Menumbuhkan kesadaran akan kesempatan yang sama dalam berwarganegara. Bawasanya ada hak, kewajiban dan ruang politik yang dapat diisi untuk memperjuangkan nasib bangsa dan negara kedepannya.

Begitu juga dengan pemerintah harus bisa menjamin keamanan hak- hak politik setiap perempuan sesuai dengan nilai-nilai demokrasi dan asas Pancasila. Maka seluruh perempuan Indonesia tidak usah ragu ketika harus terjun dalam perpolitikan. Tidak ada ketakutan ketika harus menjadi pemimpin dalam badan /lembaga pemerintahan.

Berdasarkan peran dan keterwakilan perempuan dalam proses pembuatan kebijakan publik selama ini masih dirasa kurang untuk itu dilakukan berbagai upaya untuk mendorong peran dan keterwakilan melalui penerapan kuota minimal 30% bagi perempuan diparlemen. Agar tujuan tersebut tercapai, dibuatlah UU No. 8 Tahun 2012 tentang pemilu legislatif yang memerintahkan  partai politik untuk memasukkan minimal 30% perempuan dalam daftar  calon anggota legislatif.

Olehnya itu dengan berhasilnya  perjuangan emansipasi perempuan sekarang sudah mulai dilihat dan menampakkan hasil dalam negara demokrasi. Dalam negara demokrasi pengakuan perempuan atas dasar prinsip persamaan derajat, dalam semua wilayah dan tataran kehidupan publik menjadi penting. Terutama dalam posisi-posisi pengambilan keputusan. Platform kksi Beijing dan konvensi tentang penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Againt Women atau CEDAW) merekomendasikan agar  semua pemerintah di dunia memberlakukan kuota sebagai langkah khusus yang bersifat sementara untuk meningkatkan jumlah perempuan di dalam jabatan – jabatan appointif (berdasarkan penunjukkan / pengangkatan) maupun elektif (berdasarkan hasil pemilihan) pada tingkat pemerintahan lokal dan nasional.

Partisipasi perempuan dalam politik sangatlah penting, sebab keberadaan  mereka dapat meningkatkan kesejahteraan kelompok perempuan dengan mewakili, mengawal dan mempengaruhi agenda dan proses pembuatan kebijakan,serta turut serta dalam proses pembangunan. Namun dalam praktiknya representasi politik perempuan di parlemen masih dibawah target kuota 30%, padahal hasil survey WRI menyatakan masyarakat Indonesia setuju jika perempuan dan laki-laki diberikan kesempatan yang sama untuk terlibat di bidang politik.

Oleh sebab itu, lembar fakta ini dibuat untuk menyampaikan fakta – fakta data, dan bukti akan pentingnya memberikan kesempatan bagi perempuan untuk duduk dalam parlemen, serta memberlakukan kebijakan yang responsive gender di setiap bidang. (**)

Penulis: Dewi Kalsum, SE (Pemerhati Perempuan Konawe Kepulauan)

Komentar