OPINI – Hubungan antara Amerika Serikat (AS) dan China semakin tegang yang dimana kedua negara tersebut saling balas tarif impor sehingga hubungan dagang antara kedua negara itu semakin memanas.
Negara China dengan Pemerintahan presiden Xi Jinping melakukan suatu kebijakan yang sangat signifikan dalam menanggapi perang tarif dengan negara Amerika Serikat dengan pemerintahan Donald Trump. Dimana, Xi Jinping menaikkan tarif atas impor Amerika Serikat menjadi 125 persen, tarif ini mulai berlaku pada Sabtu, 12 April 2025.
Kebijakan tersebut merupakan balasan karena Amerika Serikat (AS) menaikkan tarif untuk impor China menjadi 145 persen.
Dalam perekonomian global yang semakin saling terhubung, perang dagang bukan lagi urusan dua negara saja. Kenaikan tarif pada level ekstrem seperti ini dapat menyebabkan biaya produksi melonjak, rantai pasok terganggu, serta melemahkan kepercayaan pasar. Tidak menutup kemungkinan, perlambatan ekonomi global akan menjadi konsekuensi berikutnya.
Jadi perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China membuat ketegangan bagi negara-negara berkembang terkhususnya Indonesia. Negara-negara berkembang lainnya akan merasa cemas dengan terjadinya perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Banyak dampak yang terjadi akibat kenaikan tarif impor ini antara lain tidak stabilnya pasar Global, harga barang-barang impor otomatis akan semakin meningkat, dan masih banyak lagi. Konflik dagang ini membawa berbagai dampak negatif yang patut diwaspadai oleh pemerintah dan pelaku usaha di Indonesia yaitu penurunan permintaan ekspor.
China dan Amerika adalah dua pasar utama bagi komoditas Indonesia seperti batu bara, minyak kelapa sawit, karet, hingga tekstil. Ketika pertumbuhan ekonomi di kedua negara tersebut melambat, permintaan atas produk ekspor Indonesia otomatis ikut menurun. Ini akan berdampak langsung pada perdagangan dan pendapatan devisa nasional.
Dengan naiknya tarif impor ini, maka negara-negara berkembang seperti Indonesia akan mengalami inflasi yang di mana harga-harga barang impor tersebut seperti barang-barang elektronik akan ikut meningkat harganya. Ini dikarenakan pusat industri dan barang-barang elektronik berasal dari kedua negara tersebut.
Semua ini berujung pada risiko yang lebih besar yaitu melambatnya pertumbuhan ekonomi nasional, target-target pembangunan bisa terganggu, dan masyarakat bawah yang paling rentan akan menjadi korban pertama dari guncangan ini.
Melihat kompleksitas dampak yang ditimbulkan, sudah saatnya pemerintah bersikap lebih proaktif. Krisis global seperti ini seharusnya menjadi momentum untuk memperkuat struktur ekonomi dalam negeri. Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah-langkah strategis agar tidak terlalu berdampak.
Pemerintah Indonesia harus mengurangi ketergantungan terhadap AS dan China dalam hal perdagangan. Kemudian itu, Indonesia harus mencari pasar alternatif seperti negara-negara di Asia Tenggara, Timur Tengah, Afrika, dan Eropa Timur, agar Indonesia tidak terlalu ketergantungan dari kedua negara tersebut. (**)
Penulis: Jumriman (Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi 66 Kendari)
Komentar